Rupiah Tembus Rp 15.500/US$, Ini Biang Keroknya!

media-nasional.comJakarta, CNBC Indonesia – Nilai tukar rupiah terus terpuruk melawan dolar Amerika Serikat (AS). Pada perdagangan Rabu (19/10/2022) sempat menembus Rp 15.500/US$, terlemah sejak 22 April 2022.

Posisi rupiah sedikit membaik di penutupan, berada di Rp 15.495/US$ atau melemah 0,19% di pasar spot, melansir data Refinitiv.

Sudah jamak diketahui pemicu utama pelemahan rupiah adalah bank sentral AS (The Fed) yang sangat agresif menaikkan suku bunga. Sepanjang tahun ini kenaikannya sebesar 300 basis poin, menjadi 3% – 3,25% dan masih akan terus berlanjut.

Pada November nanti, bank sentral paling powerful di dunia ini diperkirakan akan menaikkan lagi sebesar 75 basis poin menjadi 3,75% – 4%. Tidak cukup sampai di situ, kenaikan masih akan terus dilakukan hingga awal tahun depan.

Berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat suku bunga The Fed berada di level 4,75% – 5% pada Februari 2023.

Dengan agresivitas tersebut, indeks dolar AS terus meroket hingga menyentuh level tertinggi dalam 20 tahun terakhir. Indeks ini merupakan tolak ukur kekuatan dolar AS, semakin tinggi artinya semakin perkasa.

Alhasil, rupiah rontok, sepanjang tahun ini pelemahannya mencapai 8,74%. Meski demikian rupiah tidak sendirian, mata uang Asia lainnya juga rontok, bahkan lebih parah lagi.

Ringgit Malaysia misalnya, merosot lebih dari 13% dan berada di level terlemah sejak 1998. Peso Filipina bahkan menyetuh rekor terlemah sepanjang sejarah setelah jeblok nyaris 16%.

Yuan China juga terpuruk 14%, dan yen Jepang yang paling parah, merosot nyaris 30%.

Terpuruknya mata uang Asia tersebut menunjukkan betapa perkasanya dolar AS. Selain The Fed yang agresif, risiko resesi dunia juga membuat the greenback semakin cemerlang.

Maklum saja, dolar AS menyandang status safe haven, saat dunia terancam resesi bahkan stagflasi maka permintaanya akan meningkat.

Itu dari eksternal, tekanan bagi rupiah juga datang dari dalam negeri. Dengan suku bunga The Fed yang semakin tinggi, selisih imbal hasil (yield) obligasi AS (Treasury) dengan Surat Berharga Negara (SBN) semakin menyempit.

Berdasarkan data Refinitiv, selisih yield SBN dengan Terasury tenor 10 tahun berada di kisaran 3,3%, terendah sejak awal 2013.

Alhasil, terjadi capital outflow yang masif di pasar obligasi.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pembiayaan Risiko (DJPPR), sepanjang tahun ini hingga 17 Oktober investor asing menarik dananya dari pasar obligasi sekitar Rp 166 triliun. Rupiah pun kesulitan menguat.

Selain itu, pelaku pasar kini menanti pengumuman kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) Kamis besok.

Gubernur BI Perry Warjiyo dan anggota Anggota Dewan Gubernur lain dijadwalkan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) Oktober 2022 pada Rabu dan Kamis (19-20 September 2022).

Survei yang dihimpun CNBC Indonesia terhadap 13 institusi menunjukkan lima lembaga/institusi memperkirakan bank sentral akan mengerek BI7DRR sebesar 25 basis points (bps) menjadi 4,50%, tujuh lembaga/institusi memproyeksi kenaikan BI7DRR sebesar 50 bps menjadi 4,75% sementara satu lembaga memperkirakan kenaikan sebesar 75 bps menjadi 5,00%.

Pelaku pasar tentunya menunggu kepastian seberapa besar suku bunga akan dinaikkan. Jika kenaikan hanya 25 basis poin, bisa menjadi sentimen negatif, sebab selisih suku bunga dengan The Fed akan semakin menyempit.

TIM RISET CNBC INDONESIA