Jakarta: Draf Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) terbaru mengatur mengenai pidana penghinaan Presiden dan Wakil Presiden (Wapres). Pasal ini memiliki banyak catatan mengenai penerapannya di negara dengan sistem presidensial hingga besar kemungkinan mengancam indeks demokrasi Indonesia.
 
Pakar Hukum dan Tata Negara UGM Zainal Arifin Mochtar merincikan ada beberapa catatan untuk menyisir pasal ini.
 
“Harus diingat tidak banyak negara dengan sistem presidensial menerapkan hal itu. Karena biasanya negara-negara menempatkan adanya pasal penghinaan adalah negara yang menggunakan sistem parlementer. Dalam sistem presidensial, presiden dipilih langsung oleh rakyat. Yang artinya embedy di dalam diri seorang presiden adalah kritisi,” Jelas Zainal.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Zainal menyatakan jika pasal ini dikatakan delik aduan. Maka hal ini harusnya mengerucut pada equality before the law (persamaan dihadapan hukum).
 
“Tatkala dikatakan delik aduan, bukankah penghinaan itu berasal dari aduan. Kalau begitu kenapa tidak disamakan saja bahwa semua orang delik aduan tidak perlu ada pembedaan khusus dari presiden dan ada pasal khusus. Perbedaan ini tidak mengerucut pada equality before the law,” ujarnya.
 
Catatan yang ketiga, Zainal mengatakan bahwa kategorisasi kritik atau tidak. Jika penilaiannya oleh aparat penegak hukum, maka diskresi aparat penegak hukum menjadi besar.
 
“Sebenarnya ketika kategorisasi kapan dinyatakan sebuah kritik dan tidaknya (walaupun dalam aturan UU dinyatakan tidak tegas). Tetapi jika penilaian diserahkan pada aparat penagak hukum, diskresi aparat penegak hukum menjadi besar. Kita bisa belajar dari UU ITE, yang dimana tujuan kita membangunnya berbeda dan yang didapatkan juga berbeda,” Jelasnya.
 
Ia juga meyakini bahwa pasal penghinaan terhadap presiden dalam RUU KUHP memungkinkan membuka ruang kriminalisasi dan mengancam indeks demokrasi negara Indonesia.
 
“Pada saat yang sama, jangan lupa catatan kita soal demokrasi yang makin memburuk adalah karena kebebasan berekspresi yang semakin dibatasi,” jelasnya dalam tayangan Primetime News, Metro Tv, pada Kamis 7 Juli 2022. (Ainun Kusumaningrum)
 

(MBM)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.