Misbakhun Ingatkan Pemerintah Terkait Cukai Rokok

Jakarta: Pemerintah diminta adil dan objektif dalam mengeluarkan kebijakan maupun aturan industri hasil tembakau (IHT). Pemerintah harus melihat manfaat dan dampak terhadap sektor yang menjadi penyangga hidup banyak orang. 
 
Hal itu diungkapkan Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun dalam seminar bertema ‘Catatan Kritis Kebijakan Cukai Hasil Tembakau dan Tantangan ke Depan’ yang diselenggarakan Fakultas Ekonomi Universitas Merdeka, Kota Pasuruan. “Tidak semua aturan itu kemudian memberikan keuntungan bagi industrinya,” kata Misbakhun.
 
Misbakhun mengataan, hal yang menjadi kekhawatiran dan perhatian pelaku usaha IHT ialah soal simplifikasi tarif cukai yang dibarengi kenaikan tarif cukai untuk IHT. Menurut Misbakhun, IHT memiliki peran penting terhadap perekonomian Indonesia.





Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


“Industri ini memiliki kemampuan dalam menyerap tenaga kerja yang besar, mulai dari sektor hulu hingga hilir, dan berkontribusi besar dalam menggerakan perekonomian nasional dan daerah,” ujarnya. 
 
Misbakhun mengatakan kontribusi IHT terhadap Cukai Hasil Tembakau (CHT) mencapai 95 persen. “Besarnya potensi kontribusi CHT menyebabkan kebijakan cukai makin eksesif. CHT terlihat justru lebih berorientasi pencapaian target penerimaan daripada pengendalian atau pembatasan konsumsi rokok,” paparnya. 
 
Misbakhun mengaku akan menentang Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau yang dicetuskan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). “Bagi saya, menolak FCTC ini jihad melawan agenda asing di Indonesia. Kalau orang berjihad melawan rokok, saya akan berjihad melawan FCTC,” katanya.
 
Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Surabaya Sulami Bahar merisaukan wacana simplifikasi tarif cukai. Sulami menjelaskan pada 2012 terdapat 15 lapis (layer) tarif cukai. Namun, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 192/PMK.010/2021 memangkas lapis tarif cukai itu menjadi 8.
 
Menurut Sulami, efek simplifikasi tarif cukai itu ialah penurunan volume produksi rokok legal atau yang berpita cukai. Sebaliknya, simplifikasi dan kenaikan tarif cukai berbanding lurus dengan peningkatan peredaran rokok ilegal.
 
“Pada 2019 ketika tidak ada kenaikan tarif cukai, tidak ada simplifikasi, peredaran rokok ilegal mengalami penurunan signifikan,” ujarnya. 
 
Wakil Wali Kota Pasuruan Adi Wibowo menyebut Kota Pasuruan memperoleh dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCT) sebesar Rp17 miliar pada 2021. Jumlah itu meningkat pada 2022 menjadi Rp21 miliar. Dia berharap DBHCT bisa diimplementasikan sesuai dengan tujuan yang sudah dicanangkan. 
 
“Ini menjadi tantangan kita juga di pemerintah daerah untuk mengipmplementasikan dan mengalokasikan DBHCHT sesuai dengan tujuan-tujuan yang sudah dicanangkan,” kata Adi.
 

(FZN)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.