media-nasional.com – Dimaz Ankaa WijayaPeneliti pada Blockchain Research Joint Lab Universitas Monash, Australia

Sekitar sebulan yang lalu, tepat sebelum libur panjang akhir tahun, saya sempat berdiskusi dengan seorang kolega sesama peneliti dalam pertemuan rutin kami. Saya tentu saja berfokus pada penelitian tentang blockchain dan mata uang kripto, sementara ia lebih tertarik pada pengaplikasian kecerdasan buatan pada interpretasi bahasa natural. Kesamaan kami berdua adalah kami terjun dalam dua dunia berbeda, yang masing-masing sedang mengalami hype yang luar biasa.

Blockchain yang mengguncang (disrupt) kemapanan industri keuangan, sementara kecerdasan buatan melesat bak komet karena perkembangan teknik komputasi yang luar biasa dalam beberapa tahun terakhir ini, membuat orang mulai berpikir kapankah kecerdasan buatan memberontak yang berakhir pada berakhirnya peradaban manusia.

Hal menarik dari pembicaraan itu adalah, kami berdua (tepatnya saya) khawatir bahwa hype blockchain sebentar lagi berakhir dengan menurunnya antusiasme masyarakat terhadap mata uang kripto seiring dengan hancurnya harga mata uang kripto yang dipimpin Bitcoin di pasaran.

Setelah mengalami peningkatan signifikan selama tahun 2017, harga Bitcoin terpotong hingga 80 persen, sementara mata uang kripto lainnya mengalami hal yang tak kalah mengenaskan dengan diskon harga hingga 90-95 persen.

Blockchain atau lebih tepatnya mata uang kripto, tidak lagi seperti dahulu. Saat orang berlomba-lomba untuk membuat mata uang kripto baru melalui penawaran koin perdana (Initial Coin Offering atau ICO) dengan rekor yang susul-menyusul, ICO tak lagi menjadi primadona, sebab orang mulai memahami bahwa produk baru tidak selalu lebih baik dibandingkan pendahulunya. Atau setidaknya, produk baru ini akan membawa petaka dan risiko yang amat besar terhadap dana investasi yang akan ditaruh ke dalam proyek baru ini.

Uang, tak dapat dipungkiri, adalah hal utama yang menggerakkan bisnis mata uang kripto. Utilitas yang ditawarkan oleh produk-produk mata uang kripto: metode pembayaran efisien yang selesai dalam hitungan menit, penyimpanan permanen, peramalan masa depan, dan berbagai fungsi lainnya dalam mata uang kripto, semuanya dinilai dengan harga pasarnya. Kenyataan bahwa tidak semua fungsi ini digunakan adalah soal lain, yang penting adalah harga pasar.

Uang bak pedang bermata dua bagi mata uang kripto. Di satu sisi ia mendukung perkembangan infrastruktur, di sisi lain juga berpotensi membunuh industri yang baru lahir ini.

Persoalan-persoalan mendasar yang menekan teknologi mata uang kripto dari tingkat adopsi yang lebih besar seperti skalabilitas dan efisiensi, semuanya tertutupi dengan hingar-bingar fluktuasi harga. Semua mata tertuju pada grafik naik-turun perdagangan, semua telinga terbuka pada sabda dukun Bitcoin, dari yang gratisan sampai yang premium, yang setiap saat menelurkan prediksi harga jam-jaman. Peduli setan, yang penting cuan!

Uang adalah minyak pelumas mata uang kripto. Saat uang mengalir deras masuk ke pasar, maka mata uang kripto makin bersinar, sementara saat orang berbondong-bondong mencairkan profitnya, maka mata uang kripto tidak lagi jadi favorit pembicaraan orang.

Tahun 2018 adalah masa-masa kelam bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia mata uang kripto. Para HODLR, para BUIDLR, termasuk juga para trader, berdegup jantungnya tiap kali melihat perubahan harga yang seakan-akan lepas kendali. Tapi, barangkali tahun 2018 adalah obat yang dibutuhkan bagi mata uang kripto untuk menyehatkan kembali lingkungan industrinya. Tahun 2018 menyadarkan regulator berbagai negara untuk memperketat aturan, melindungi para investor dari jarahan pendiri ICO jadi-jadian, serta mengusut mereka yang menangguk untung secara tidak sah karena mempermainkan harga pasar.

Menengok manisnya tahun 2017 serta pahitnya tahun 2018, stakeholder mata uang kripto semestinya telah menjadi lebih dewasa. Untung besar tanpa kerja keras harusnya tetap jadi mimpi di siang bolong bagi kebanyakan orang. Regulator juga harus belajar merespon lebih cepat terhadap perkembangan teknologi baru yang mendisrupsi kemapanan, sebelum disrupsi tersebut membuat kerusakan lebih besar yang tidak diharapkan.

Di akhir diskusi kami, ia menyarankan agar saya mulai menyisihkan waktu untuk mempelajari bagaimana kecerdasan buatan akan menjadi ujung tombak revolusi manusia berikutnya. Dan saya pun tergoda mengikuti ajakannya. []