media-nasional.com – Gadget sudah menjadi peranti bekerja, berkomunikasi, mencari hiburan, belajar, bersosialisasi, dan lain sebagainya. Sederhananya, semua hal bisa kita lakukan dalam genggaman tangan kita.

Di samping segala kemudahan yang kita rasakan, tak bisa dipungkiri, gadget juga memiliki beberapa risiko seperti kecanduan, penipuan, peretasan, dan lain sebagainya,

Fenomena penggunaan gawai di tengah kehidupan kita saat ini mungkin turut menimbulkan pertanyaan terutama bagi para ibu dan ayah, perlukah anak-anak mereka dibolehkan bermain gadget sejak dini?

Anak-anak saat ini lahir sebagai generasi “Alfa”, generasi yang lahir setelah tahun 2010. Merekalah kelompok yang akan menggunakan teknologi sejak lahir hingga sepanjang hidup mereka, alias tidak merasakan kehidupan non-digital seperti generasi-generasi sebelumnya.

Psikolog klinis dari Yayasan Cintai Diri Indonesia (Love Yourself Indonesia), Alif Aulia Masfufah pun angkat bicara soal perlukah anak diberikan gadget atau dibolehkan bermain gadget sejak dini?

Menurut Aulia, jawaban dari pertanyaan “perlu atau tidaknya anak diberikan gadget?” itu variatif, bergantung dari usia si anak itu sendiri.

Aulia mencoba mengategorikan anak dalam tiga kluster, yaitu balita (1-5 tahun), usia sekolah awal (1-3 SD), dan usia sekolah akhir (4 SD dan seterusnya).

Balita sebaiknya diperkenalkan ke gadget

“Kita harus menggarisbawahi, kata-kata “diberikan” dan “diperkenalkan” itu sesuatu yang berbeda. Menurut saya, kalo di usia balita, gadget akan baik bila diperkenalkan,” kata Aulia saat dihubungi KompasTekno.

Dengan kata lain, anak diberi tahu soal keberadaan gadget dan fungsinya, bukan juga berarti anak sama sekali tidak boleh memegang gawai.

“Kalau pakai konsep diperkenalkan, mudahnya, 10 persen dari keseharian anak boleh belajar dari YouTube, tapi harus ada bimbingan. Sementara 90 persennya, anak harus banyak berinteraksi dengan hal-hal yang nyata (non-digital) di sekitarnya,” kata Aulia.

Untuk memperkenalkan gadget, ia menyarankan agar balita selalu ditemani oleh ibu atau pengasuhnya. Gadget juga sebaiknya diperkenalkan pada jam-jam bermain si anak, bukan di jam-jam anak makan, mandi, atau ingin tidur.

Aulia mengatakan, usia anak 1-5 tahun ini adalah usia emas (golden age). Itulah alasan balita harus mengeksplorasi berbagai hal.

Mulai dari merasakan emosi (rasa takut, malu, marah dll), belajar berbicara, melatih kemampuan sensorik, motoriknya, serta kognitif, bersosialisasi dengan orang sekitarnya, dan banyak hal lainnya di luar gadget.

Orangtua juga seharusnya lebih banyak berinteraksi dengan anak balitanya. Misalnya mewarnai bersama, melakukan bongkar-pasang bersama, dan aktivitas lain yang interaktif.

Bila terlalu berlebihan memperkenalkan gadget ke balita, dikhawatirkan akan berdampak kurang baik dalam tumbuh kembang anak.

“Misalnya, mudahnya dalam aspek bicara (dampaknya) adalah keterlambatan bicara atau speech delay. Klien-klien saya yang speech delay ini, rata-rata memang dari dia bayi, sampai dia umur 4/5 tahun itu pegangannya gadget,” kata Aulia.

Jadi, dengan konsep diperkenalkan, balita diharapkan tetap bisa dapat mengenal gadget dengan sehat.

Namun, Aulia menitip pesan agar orangtua harus pintar-pintar memberikan gadget ketika anak tantrum.

“Kalo anak marah, jangan langsung dikasih gadget supaya dia bertoleransi dulu sama perasaan marahnya,” kata Aulia.

“Sebab (gadget) bukan alat pengasuhan, bukan pengganti ibunya, bukan media untuk menghilangkan stres atau sedih bagi anak,” tambah dia.

Menurut Aulia, kalau langsung dikasih, atensi anak akan langsung teralihkan ke gadget. Sehingga mereka dikhawatirkan tidak belajar menghadapi perasaan marahnya tadi.

Usia sekolah awal (1-3 SD)

Namun, Aulia tak memungkiri bahwa “keadaan” mungkin memaksa orangtua untuk memberikan gadget. Misalnya, karena anak perlu melakukan pembelajaran jarak jauh, menelepon pengasuh atau supir, dan lain sebagainya.

“Kalau ada situasi-situasi seperti itu, yang memang urgent, anak mulai bisa dikasih gadget,” kata Aulia.

Selain gadget, di usia-usia ini, menurut Aulia, anak juga sudah bisa menggunakan laptop atau komputer, namun yang diletakkan di “ruang tengah”.

“Sepanjang ditaruh di ruang tengah, di tempat yang semua orang bisa lihat dia main apa dan dia buka apa, nggak masalah anak mau main gadget, komputer, atau laptop,” kata Aulia.

Yang pasti, anak harus mengakses gadget di tempat terbuka di bawah pengawasan orang di sekitarnya. Sebab, gadget bukan menjadi barang yang personal bagi mereka.

“Menurut saya, umur 8, 9, atau 10 tahun merupakan usia yang ideal untuk anak-anak mendapatkan HP pertamanya. Dengan catatan, orangtua juga harus bikin list kegiatan positif apa untuk mengimbangi penggunaan gadget,” kata Aulia.

Ia menitip pesan, orangtua perlu mengimbangi penggunaan gadget anak dengan aktivitas fisik macam balet, sepak bola, basket, taekwondo, dan lainnya.

“Aktivitas fisik harus menjadi sebuah kebiasaan. Jangan melulu les yang mengasah kognitif, hal yang membuat dia fun juga harus menjadi bagian kesehariannya sebanyak penggunaan gadgetnya,” kata Aulia.

Dengan begitu, anak diharapkan tetap memiliki keseimbangan antara dunia virtual dan realitannya.

Lihat FotoPermainan tradisional ular naga menjadi salah satu kegiatan dalam gerakan No Gadget Campaign di perumahan Griya Rajawali Bintaro 1, Ciputat, Tangerang Selatan.(RIMA WAHYUNINGRUM)Usia sekolah akhir (4 SD ke atas)

Bila anak sudah dikenalkan dengan gadget dan sudah menikmati dunia nyatanya, menurut Aulia, anak bakal lebih siap menggunakan gadget sebagaimana mestinya, yakni untuk mencari informasi dan memudahkan urusan kita.

Hanya saja, Aulia kembali mengingatkan, dalam kategori usia anak (1-16 tahun), gadget tetap bukan menjadi barang personal. Sehingga orangtua harus tetap memasang mode waspada. Entah dengan memberlakukan kontrak jadwal penggunaan gadget, menaruh gadget di ruang tengah, atau memasang aplikasi pengawasan di gawai.

“Menurut saya anak sudah siap setelah semua tahapan itu. Sebab kebiasaan sudah terbentuk selama 10 tahun terakhir. Sehingga gadget bisa digunakan dengan baik,” pungkas Aulia.

Bila tidak mengenalkan gadget dengan cara yang bijaksana dan digunakan terlalu berlebihan, menurut Aulia, anak berisiko mengalami dampak buruk penggunaan gadget.

Misalnya seperti keterlambatan bicara (speech delay), kecanduan game (game addiction), masalah emosi, merasa kesepian, hingga kecanduan pornografi yang mengakibatkan terjadinya seks bebas.

Aulia mengatakan tidak ada panduan saklek terkait perlu atau tidaknya anak diberikan gadget. Ia hanya menggarisbawahi bahwa orangtua bakal rugi bila tidak memperkenalkan gadget ke anak. Sebab seluruh akses informasi ada di sana.

“Gadget itu bisa menjadi tools atau alat membantu mengembangkan potensi dan kepribadian anak. Tapi penggunaan gadget harus kembali pada fungsinya,” kata Aulia.

“Gadget ini menurut saya bagai dua sisi mata uang. Kalo tepat digunakan, gadget bakal baik banget. Kalau salah menggunakannya, gadget bisa menghancurkan sebegitunya,” pungkas dia.

Jadi, bijaklah ketika mengenalkan atau memberikan gadget ke anak kalian, ya Moms!