media-nasional.com – Dimaz Ankaa WijayaPeneliti pada Blockchain Research Joint Lab Universitas Monash, Australia

Setiap kali musim pemilu, selalu ada wacana untuk menerapkan sistem elektronik di dalamnya. Sebenarnya sistem pemilu elektronik bukanlah barang baru, sebab negara maju seperti Amerika Serikat (AS) sudah mulai beralih dari sistem berbasis manual atau kertas menjadi sistem berbasis elektronik. Tapi tentu saja kita tahu bahwa pemilu AS yang lalu tercoreng dengan munculnya kecurigaan bahwa sistem elektronik telah diretas oleh Rusia.

Sistem pemilu elektronik manapun sebenarnya tidak lepas dari potensi serangan pihak yang bertanggungjawab, yang umum disebut dengan pereteas. Mereka ini memiliki beragam motivasi, mulai dari meretas untuk pembuktian kemampuan diri sendiri, mencari perhatian (hacktivist), ataupun dalam rangka mencari keuntungan bagi diri sendiri atau orang lain. Peretasan telah menjadi begitu mainstream, hingga negara-negara tertentu ikut mendukung peretasan ke negara musuh.

Bagaimana dengan blockchain? Dapatkah blockchain diterapkan dalam pemilu di Indonesia? Saya sungguh ragu.

Pertama, tentu saja karena kendala infrastruktur yang tidak memenuhi syarat. Untuk menerapkan pemilu berbasis blockchain di wilayah Indonesia yang tidak semuanya dijangkau fasilitas listrik dan koneksi Internet adalah hal yang mendekati mustahil. Sistem blockchain merupakan sistem daring (online), di mana semua data harus termutakhirkan (update) secara realtime. Pangkalan data (database) akan diperbarui setiap kali seorang pengguna memberikan suaranya (ballot), sehingga diperoleh hasil yang sahih dan dapat dipercaya.

Pemilu saat ini baru bisa diselesaikan penghitungannya berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu usai pemilu diselenggarakan, sebab aktivitas kompilasi yang harus menunggu informasi resume dari seluruh wilayah di Indonesia, yang dengan berbagai kendala tidak dapat tersampaikan secepat mungkin.

Dengan tidak adanya kemungkinan untuk menerapkan sistem blockchain hingga ke tingkat akar rumput di setiap tempat pemungutan suara (TPS), maka bisa juga blockchain diterapkan pada tingkat yang lebih atas, misalnya di tingkat kota, kecamatan, atau kelurahan. Hanya saja, yang jadi soal adalah bagaimana memastikan bahwa mereka yang memasukkan informasi bertindak dengan jujur sehingga hasil pemilu adalah sahih.

Dari sisi teknologi, sistem blockchain dapat memastikan bahwa informasi yang tersimpan dapat diduplikasi dengan mudah ke berbagai server secara realtime, sehingga jika sebuah server mengalami serangan, maka server lain dapat menggantikan peran server tersebut dengan cepat.

Jika kita menganggap bahwa akan terdapat setidaknya puluhan server yang tersebar di berbagai tempat, maka usaha menjatuhkan semua server ini akan memakan biaya dan usaha yang sama sekali tidak kecil.

Keuntungan ini dapat menjadi kerugian manakala ada informasi salah yang harus diperbaiki. Seperti halnya sistem pangkalan data lainnya yang amat bergantung pada ketelitian penggunanya, sistem blockchain juga tidak lepas dari potensi kesalahan manusia. Berbeda dengan sistem basis data tradisional yang memiliki fitur internal untuk menghapus data yang tidak benar, sistem berbasis blockchain tidak memiliki hal ini, sehingga informasi yang salah tersebut akan tetap ada di dalam sistem.

Kebutuhan sistem pemilu berbasis blockchain tentu saja tidak sama dengan sistem mata uang kripto, di mana kerahasiaan pengguna harus benar-benar dijaga. Memang benar bahwa apabila setiap pengguna memiliki kunci privat (private key) dan kunci publik (public key), maka hanya penyelenggara pemilu saja yang dapat mengasosiasikan kunci ini kepada identitas pemilik. Hanya saja, dengan berbagai cara yang sudah dikembangkan oleh para peneliti, informasi identitas pemilik masih dapat terlacak.

Selain itu, sistem pemilu berbasis blockchain juga harus memastikan bahwa para pemilik suara tidak dapat menjual suara mereka kepada calon pejabat yang akan dipilih. Ini adalah sebuah kebutuhan yang sulit dipenuhi, karena sistem kunci publik sederhana seperti yang ada pada Bitcoin tidak akan cukup untuk memastikan tidak ada politik uang.

Bahkan sistem yang lebih privat seperti Monero pun, mungkin juga belum cukup untuk menghindarkan sistem dari potensi penjualan suara oleh pemilik suara. Sebuah artikel yang ditulis oleh seorang rekan saya memberikan gambaran bagaimana metode Ring Signature ditingkatkan kapasitasnya dapat digunakan dalam pemilu. Kelemahan dari sistem ini adalah keharusan untuk melakukan pra komputasi, sehingga jumlah pemilih tidak dapat bertambah setelah prakomputasi selesai dilakukan.

Penerapan blockchain dalam sistem pemilu bukanlah perkara mudah. Diperlukan penelitian yang lebih mendalam untuk mendapatkan sistem yang sempurna dari sisi teknologi, peraturan, hingga dapat diterapkan dalam kondisi yang tidak ideal seperti yang ada di Indonesia. Bukan sekarang, mungkin nanti di masa mendatang. []