Heboh Kirim Aset Kripto Bernilai Rp1,9 Juta, Tapi Biaya Kirimnya Rp36 Miliar

media-nasional.com – Komunitas aset kripto sontak heboh kemarin. Pasalnya, ada dua transaksi aset kripto 0,55 Ether (ETH) setara Rp1,9 juta dan 350 ETH (Rp1,2 miliar), tetapi biaya kirimnya sama, yakni 10.668,73185 ETH, setara US$2,6 juta (Rp36 miliar).

Adalah lumrah mengirimkan aset kripto bernilai sangat besar, milyaran bahkan triliunan rupiah menggunakan aset kripto berteknologi blockchain. Itu memang keunggulan yang sangat lazim.

Namun, mengirimkan aset kripto bernilai jutaan rupiah, tetapi biaya kirimnya miliaran rupiah, itu baru aneh dan mengundang beragam spekulasi dari para ahli. Padahal, rata-rata biaya kirim ETH antara US$0,153 (Rp2 ribu) hingga US$0.2 (Rp3 ribu).

Inilah yang terjadi 10 Juni 2020 lalu di blockchain Ethereum. Mungkin seseorang atau sekelompok orang yang tidak diketahui identitasnya, mengirimkan aset kripto 0,55 ETH bernilai Rp1,9 juta, tetapi biaya kirimnya 10.668,73185 ETH, setara US$2,6 juta (Rp36 miliar).

Bahkan dari address ETH serupa, transaksi yang mirip terjadi lagi siang ini hari ini, 11 Juni 2020.

Transaksi kedua itu terkirim 350 ETH (Rp1,2 miliar) dengan biaya kirim yang benar-benar sama dengan transaksi pertama, yakni 10.668,73185 ETH, setara US$2,6 juta (Rp36 miliar).

Yang berbeda hanya address tujuannya dan ditambang (divalidasi) oleh miner (penambang yang berbeda).

Pada transaksi pertama, biaya kirim 10.668,73185 ETH, setara US$2,6 juta (Rp36 miliar) itu masuk ke address miner “SparkPool”. Miner itu mengatakan, bahwa ETH itu sudah “dibekukan” di wallet mereka, menanti apa sebenarnya yang terjadi.

Tak lama berselang, bursa aset kripto Bithumb memastikan bahwa address penerima transaksi 0,55 ETH itu tercatat di sistemnya dan memang dimiliki oleh salah seorang pengguna layanannya.

Sementara itu, mining pool “Ethermine ETH” yang menambang pada transaksi kedua, percaya itu adalah sebuah kekeliruan pengirim dalam menentukan biaya kirim.

“Kami yakin transaksi ini adalah kekeliruan, sebuah ketidaksengajaan. Mohon yang mengirimkannya menghubungi kami,” sebut Ethermine Bitfly, pengelola mining pool itu melalui Twitter.

Menanggapi transaksi pertama itu, juru bicara Coinfirm menduga itu bukanlah kekeliruan melainkan ada kemungkinan modus pencucian uang. Coinfirm mengacu dugaan itu pada sebuah artikel yang terbit pada 5 April 2019 silam, tentang bagaimana penambang aset kripto bisa membantu proses pencucian uang.

Keliru atau Modus Pencucian Uang?Asumsi paling utama kejadian itu adalah kekeliruan pihak pengirim dalam menentukan biaya kirim ETH. Dan ini kerap terjadi sebelumnya.

Mengirimkan ETH melalui dompet di bursa aset kripto tertentu atau melalui dompet pribadi (berupa aplikasi), pengguna memungkinkan menentukan besaran biaya kirim ETH. Dan biaya kirim ini dikirimkan kepada miner (penambang) pada block ketika transaksi itu berlangsung.

Namun, mengingat sangat besarnya biaya kirim di dua transaksi berbeda dan jumlahnya benar-benar serupa, asumsi itu mungkin bisa terpatahkan. Bagaimana mungkin mengirimkan ETH dari address serupa, tetapi biaya kirimnya sama-sama besar, adalah sebuah kekeliruan?

Kemungkinan lain adalah modus pencucian uang, sebagaimana yang disebutkan oleh Coinfirm itu.

Dugaan pencucian uang juga dilontarkan oleh Anthony Sassano Pendiri Ethhub, sesaat setelah transaksi pertama terjadi.

“Itu bisa saja sebuah kekeliruan atau juga upaya pencucian uang (money laundering). Jika itu sebuah kekeliruan, maka penambang SparkPool, yang menerima biaya kirim itu, bisa saja mengembalikannya kepada pengirim. Sedangkan asumsi kedua, yakni pencucian uang, bisa terjadi jika memang antara pengirim dan miner ‘bekerjasama’,” katanya.

Namun, dugaan kerjasama kemungkinan kecil terjadi, mengingat pengirim tidak bisa menentukan miner mana saja yang bisa menerima biaya kirim itu, sebab sistem blockchain Ethereum menentukannya secara acak. [Cointelegraph/Forbes/red]