Revisi UU Pengumpulan Uang atau Barang Dinilai Dapat Cegah Penyelewengan

Jakarta: Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mendorong pemerintah dan DPR segera merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang. Revisi beleid tersebut dapat mencegah penyelewengan.
 
“Beberapa kawan dan saya sendiri telah mendorong adanya perubahan Undang-Undang tentang Pengumpulan Uang atau Barang ini,” kata Bivitri pada webinar bertajuk “Polemik Pengelolaan Dana Filantropi” yang dipantau di kanal YouTube, Jakarta, Sabtu, 9 Juli 2022.
 
Dia menilai Undang-Undang tentang Pengumpulan Uang atau Barang sudah cukup lama. Sehingga, perlu penyesuaian dengan kondisi saat ini. Namun, kata dia, dorongan revisi undang-undang tersebut selalu terkendala di DPR dengan alasan politik yang tidak jelas.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


“Mudah-mudahan ini menjadi momentum bagus untuk merevisi undang-undang tersebut,” ujar Bivitri.
 

Tidak hanya revisi undang-undang, Bivitri menilai aturan turunan dari undang-undang itu, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 1980 harus diperbarui. Dorongan tersebut sejalan dengan kasus yang terjadi pada Aksi Cepat Tanggap (ACT), salah satu filantropi yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan.
 
Dia membandingkan keberadaan Undang-Undang tentang Pengumpulan Uang atau Barang dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang cukup jauh tertinggal. “Makanya cara berpikir pengelolaan zakat lebih modern, rapi, dan lebih akuntabel,” ujar dia.
 
Menurut dia, pemberian izin dan pendaftaran kepada suatu pihak untuk mengelola dana kepentingan masyarakat banyak, seperti filantropi tidak cukup sebatas pemberian izin. Jauh dari itu, pengawasan dan akuntabilitas harus tetap diawasi agar tidak terjadi penyelewengan dana.
 
Dalam Undang-Undang tentang Pengumpulan Uang atau Barang yang diterbitkan pada 1960 tersebut, kata dia, belum mengangkat aspek akuntabilitas. Oleh karena itu, dia berpandangan pencabutan izin sebuah filantropi sebagaimana yang dialami ACT lantaran diduga melakukan penyelewengan dana tidak akan menyelesaikan persoalan.
 
“Jadi teman-teman yang berkegiatan di sektor itu merasa sedih. Gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga,” kata dia.
 
Dia menyarankan pemerintah tidak hanya mencabut izin filantropi. Namun, penyelesaian masalah harus dilakukan secara struktural dan segera merevisi undang-undang.
 

(AZF)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.