Migrasi Pengelolaan Kapal Negara ke Pihak Ketiga

media-nasional.com – et dan Inovasi Nasional ( BRIN ) kembali menyita perhatian publik. Tidak seperti biasanya yang memancing reaksi panas, kali ini tone-nya rada positif.

Hanya orang-orang internal yang terkena imbas kebijakan lembaga itu yang bereaksi. Mereka ini PNS. Kayaknya tidak akan banyak masalah.

Lalu, apa sih yang dilakukan lembaga tersebut sehingga perlu dibuatkan satu karangan?

Adalah laporan dalam majalah mingguan Gatra edisi 6-12 Oktober 2022, yang mengilhaminya. Diberi judul “Saat Sang Dewa Laut Beralih Kelola”, BRIN diketahui telah mengalihkan pengelolaan kapal riset Baruna Jaya kepada PT Sinar Mas LDA Maritime (SLM).

Afiliasi Kelompok Sinar Mas itu berhak mengelola Baruna Jaya I, Baruna Jaya III, dan Baruna Jaya VIII setelah memenangkan tender proyek penyediaan jasa ship management armada kapal riset di satuan kerja Deputi Bidang Fasilitasi Riset dan Inovasi BRIN.

Pagu anggaran proyek pengelolaan kapal adalah sebesar Rp 50 miliar (termasuk di dalamnya biaya operasional kapal seperti penyediaan bahan bakar minyak yang dilakukan oleh BRIN).

Sementara batas Harga Penilaian Sendiri atau HPS untuk para calon penyedia jasa ship management atau pengelolaan kapal ini adalah sebesar Rp 19,1 miliar.

PT SLM memasukkan nilai HPS hampir mendekati batas yang ditentukan tersebut. Firma ini memasukkan Harga Penilaian Sendiri senilai Rp 19,1 miliar.

Pengelolaan tiga kapal riset BRIN tersebut telah dimulai sejak 1 April 2022. Selain perusahaan itu, tender pekerjaan ship management yang ditawarkan oleh BRIN diikuti pula PT Chitra Shipyard, Reksa Tarnindo Oliva, dan Multi Ocean Shipyard.

Sebelumnya, saat BPPT belum dilebur ke dalam BRIN, kapal riset Baruna Jaya pernah juga dikelola oleh pihak ketiga, dalam hal ini PT PAL.

Namun karena dinilai high cost dan kondisi kapal tidak juga optimal, akhirnya kerja sama ini diakhiri dan kapal ditarik kembali oleh BPPT untuk dikelola sendiri.

Pengelolaan kapal riset Baruna Jaya oleh PT SLM menarik diangkat karena beberapa hal. Pertama, manfaat yang diterima oleh BRIN selaku shipowner (pemilik kapal).

Saya tidak mengetahui secara detail kerja sama antara BPPT dan PT PAL waktu itu, selain seperti yang diungkapkan di atas. Yang jelas kerja sama antara lembaga yang dikepalai oleh Laksana Tri Handoko dan SLM kali ini sepertinya akan jauh lebih besar dan lebih banyak manfaatnya buat BRIN.

Misalnya, PT SLM menyediakan jasa manajemen, operasional, dan perawatan kapal. Manakala BRIN ingin melakukan riset kelautan, kapal dan awaknya akan disiapkan oleh perusahaan tersebut.

Ini artinya ABK Baruna Jaya yang dulu pernah bekerja di atasnya dapat kembali dipekerjakan oleh SLM. Bisa jadi gajinya akan lebih besar. Siapa tahu.

Mereka ini adalah para pelaut murni, bukan peneliti. Tentu ada peneliti yang bisa saja memiliki kecakapan (competency) sebagai pelaut di BPPT. Entahlah.

Menurut pengurus PT SLM kepada majalah Gatra, pengelolaan yang mereka lakukan tidak untuk mengoptimalkan kepentingan perusahaan. Semuanya dilakukan agar armada kapal riset (KR) selalu siap berlayar menjalani penelitian.

Apa yang dilakukan oleh SLM terbilang di luar kelaziman dalam bisnis pelayaran. Tidak masalah.

Biasanya, perusahaan ship management mengelola kapal milik shipowner dan untuk pekerjaan ini mereka dibayar oleh pemilik kapal.

Bisa juga mereka menyewakan kapal kelolaan kepada pemilik barang yang ingin mengapalkan kargonya.

Adapun dalam kontrak ship management antara SLM dan BRIN, soal sewa-menyewa kapal riset oleh pihak lain tetap merupakan kewenangan penuh BRIN.

Sekadar informasi, penyewaan kapal dikenal dengan istilah chartering. Bentuknya bisa bermacam-macam.

Perlu keahlian tersendiri, khususnya dalam bidang hukum, untuk bisa memahaminya. Ini dia beberapa contoh chartering atau carter: Time charter/voyage charter dan bareboat charter.

Dalam skema time charter atau voyage charter, penyewa hanya membayar uang sewa (sekali jalan atau pergi-pulang/pp) kepada pemilik kapal atau pengelola kapal.

Sang penyewa tidak dipusingkan dengan berbagai tetek-bengek seperti solar, gaji ABK. Uang sewa yang ia bayarkan sudah mencakup itu semua.

Sementara model bareboat charter, ship manager/owner menyerahkan kapal kepada penyewa atau charterer dalam keadaan kosong.

Tugas penyewalah untuk melengkapi kapal dengan ABK, perawatan dan berbagai kebutuhan kapal lainnya.

Tidak jarang perikatan time-voyage charter dan bareboat charter diserahkan lagi ke pihak berikutnya. Sehingga bila terjadi sengketa hukum akan cukup rumit menelusuri para pihak.

Di sinilah keahlian hukum yang disebut di atas diperlukan dalam penyelesaian perselisihan yang mungkin muncul.

Alasan kedua pengelolaan kapal riset Baruna Jaya oleh PT SLM menarik diangkat, BRIN dan PT SLM menorehkan catatan yang bagus (best practice) dalam bidang tata kelola kapal negara.

Sudah menjadi rahasia umum, pengelolaan kapal negara atau KN dilakukan oleh instansi yang memiliki/mengoperasikannya.

Perawatannya cenderung sporadis jika tidak hendak disebut tidak ada. Tentu saja anggaran perawatannya disediakan oleh APBN pemerintah melalui kementerian/lembaga yang mengoperasikannya.

Di samping isu perawatan, pengawakan kapal negara juga setali tiga uang. Lantas, bagaimanakah kondisi KN itu saat ini? Perlu artikel tersendiri untuk ini.

Kerja sama BRIN dan SLM disebut mencuatkan best practice karena aspek perawatan dan pengawakan (manning) Baruna Jaya I, Baruna Jaya III dan Baruna Jaya VIII yang merupakan kapal riset canggih lebih terjamin.

Jika kapal dirawat dengan teratur – ISM Code comply – dan diawaki oleh kru yang juga terstandardisasi sesuai STCW, jelas pihak asuransi akan bersedia menanggung kapal-kapal tersebut. Sehingga, bila kecelakaan menimpa, mereka bisa di-recovered.

Ketiadaan asuransi akan membuat kementerian/lembaga yang mengoperasikan KN akan mengalami total loss manakala aset itu terbakar, tenggelam atau lainnya.

Jadi, sudah saatnya kapal-kapal negara yang jumlah lumayan besar mulai dimigrasikan pengelolaannya kepada ship management agar pemerintah tidak kerepotan mengurusi tetek-bengek perawatan kapal yang seringkali menjadi lahan basah praktik kelam keuangan negara.