media-nasional.com – a saat ini menghadapi banyak masalah. Menurut Global Risk Report 2022, ada sepuluh risiko yang dihadapi dunia, mulai dari sektor lingkungan, ekonomi, hingga sosial.

Selain itu, dunia masih menghadapi gejolak Perang Rusia melawan Ukraina yang sampai sekarang belum menemui kepastian kapan akan selesai.

Selain itu, pada 26 September lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa dunia akan mengalami resesi. Kenaikan suku bunga cukup ekstrem bersama-sama, maka dunia pasti resesi pada 2023.

Dalam lingkup domestik, 19 persen responden mengatakan bahwa korupsi menjadi masalah utama yang harus diselesaikan, menurut survei dari GNFI dan KedaiKopi.

Kondisi dunia saat ini dapat dikatakan sangat mengkhawatirkan, yang mungkin membuat kita meragukan akan masa depan.

Namun demikian, satu hal yang bisa jadi pemecah masalah adalah jika kita memiliki pemimpin yang dapat bertransformasi menjadi meta leaders .

Kita tahu bahwa dunia berubah dengan begitu cepat dan menjadi tidak pasti. Masalah menjadi multi-dimensi, tidak bisa diselesaikan hanya di salah satu sektor saja. Contohnya saja masalah perubahan iklim.

Isu perubahan iklim adalah masalah yang multidimensi karena banyak aspek yang terdampak. Ada aspek sosial, lingkungan, politik, kebijakan publik, dan teknologi. Menyelesaikan masalah di bidang sosial, belum tentu bisa menyelesaikannya di sektor-sektor lainnya.

Berbagai isu dan masalah yang terjadi sekarang menuntut pemimpin memiliki berbagai keahlian di berbagai bidang serta bisa mengakomodir berbagai kepentingan. Untuk itulah, konsep meta leadership diperlukan karena relevan dengan situasi saat ini.

Meta leadership adalah sebuah kerangka atau panduan yang telah dikembangkan dari hasil riset terhadap pemimpin di lingkungan yang stresnya tinggi dan “taruhannya” tinggi.

Meta leadership tidak mengenal tingkatan atau hierarki, tetapi lebih mengajak orang untuk aware terhadap situasi dan masalah yang kritis, kompleks, dan menyeluruh supaya dapat merumuskan action plan.

Dalam konsep meta leadership, ia memiliki tiga dimensi: the person, the situation, dan connectivity. Saya akan menjabarkan tiga dimensi ini sesuai konteks saat ini.

Meta Leadership : The Big Thinker

Dimensi pertama adalah the person. Meta leader menurut Marcus et.al (2007) adalah seorang big thinker. Mereka berani untuk mengambil masalah yang kompleks.

Meta leader adalah seorang perancang strategi, mampu connecting the dot dan membuat semua pemangku kepentingan bekerja sama, serta memahami kompleksnya situasi.

Meta leader juga seorang yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan juga orang yang suka mengeksplorasi pengetahuan yang dimiliki.

Karena mereka mau belajar dari banyak orang, the Big Thinker memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Kemampuan ini penting ketika menghadapi masa krisis.

Meta leader mampu menenangkan orang-orang yang dilanda ketakutan dan mengubah situasi pelik menjadi harapan. Mereka mampu melihat gambaran yang lebih besar dan sanggup mencari jalan keluar.

Ada survei menarik terkait tingkat optimisme terhadap penyelesaian perubahan iklim. Menurut studi dari IPSOS dan Futerra Solutions Union tahun 2021, sebanyak 58 persen responden optimis terhadap kesempatan kita menyelesaikan isu perubahan iklim.

Mereka punya rasa optimisme yang cukup tinggi bahwa isu perubahan iklim bisa diselesaikan, terlebih dengan berbagai terobosan teknologi.

German Lopez, penulis di New York Times, merangkum apa yang dikatakan para ahli kepadanya: Don’t give up on the future. Look for productive ways to prevent impending doom.

Optimisme yang ditunjukkan pada riset tersebut menunjukkan karakteristik seorang big thinker. Pemikir besar selalu melihat gambaran besarnya.

Steve Jobs, misalnya. Dia bisa melihat gambaran besar dari suatu permasalahan. Jika melihat sedikit latar belakangnya, Steve Jobs bukanlah pakar IT.

Dia belajar banyak hal dan mendapatkan kemampuannya dari belajar bersama ahlinya. Hal itulah yang membuat Steve Jobs bisa membesarkan Apple dan Pixar seperti sekarang.

Indonesia juga memiliki sosok seperti Steve Jobs. Dia adalah Ignasius Jonan. Mantan Menteri ESDM ini memiliki rekam jejak yang beragam, mulai dari keuangan, transportasi, hingga energi.

Pernah diceritakan, saat menjadi Direktur Utama PT KAI, dia tidak memiliki pengalaman apapun di bidang kereta api.

Namun karena ketekunannya untuk belajar dari ahlinya serta melihat permasalahan dari beragam sisi, membuatnya mampu membenahi transportasi kereta api yang kini menjadi andalan masyarakat.

Ignasius Jonan dan Steve Jobs adalah dua orang yang mampu sukses dengan menjahit ilmu dari berbagai bidang.

Dari yang awam dengan sebuah bidang, menjadi seorang ahli. Mempelajari sesuatu dari awal tentu menyita banyak waktu, energi, dan emosi, terlebih jika seseorang sudah lama berkecimpung di suatu bidang tertentu. Akan tetapi, mereka berdua mampu keluar dari zona nyamannya.

Keluar dari zona nyaman tentu membutuhkan regulasi emosi yang baik karena berkarier di bidang yang benar-benar baru.

Namun, Meta leader memiliki kecerdasan emosional yang mumpuni, sehingga mampu mengendalikan emosi dan perasaannya.

Menurut studi dari IHHP 2022, sebanyak 80 persen responden mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional menjadi faktor penentu apakah seorang pemimpin berkualitas atau tidak.

Mengelola emosi bukanlah hal mudah, terlebih jika seseorang berada di bawah tekanan. Energi bisa terkuras jika pemimpin menuruti emosinya.

Oleh karena itu, kemampuan mengelola emosi menjadi aset penting bagi leader dan organisasi. Terlebih, dengan berbagai masalah multidimensi yang melanda dunia global, kita semakin membutuhkan big thinker yang memiliki kecerdasan emosional tinggi.

Meta leader: menyambut ketidakpastian

Selain seorang big thinker, meta leader adalah seseorang yang adaptif dan mampu merangkul ketidakpastiaan.

Ada dua ilustrasi yang mau saya gambarkan. Pertama, keadaan dunia sekarang yang membuat kita mengenal sistem kerja hybrid atau fleksibel, di mana mengkombinasikan cara offline dan online.

Masyarakat mulai beradaptasi dengan cara itu. Bahkan, mereka menyambutnya. Studi dari McKinsey 2022 tentang efektivitas remote work menemukan bahwa 87 persen responden akan mengambil pekerjaan yang menawarkan fleksibilitas.

Ini membuktikan masyarakat menyesuaikan dengan keadaan dan bahkan merasa keadaan ini lebih baik. Selain itu, menurut studi yang berjudul Remote Work & Compensation Pulse Survey 2021, sebanyak 51 persen menghendaki cara kerja hybrid.

Ilustrasi kedua adalah tentang ancaman dalam dunia global. Dunia mulai berangsur-angsur memulihkan diri dari serangan COVID-19. Namun, di Eropa justru meningkat dalam beberapa waktu lalu.

Di Indonesia, kita dikejutkan dengan banyaknya anak meninggal karena kasus ginjal akut. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) per 14 Oktober 2022, menemukan ada 152 orang yang terkena penyakit ini.

Dua ilustrasi di atas menunjukkan situasi dunia yang berubah dengan sangat cepat, mulai dari penyakit sampai kondisi ekonomi dunia.

Akan selalu ada kejutan yang terjadi di dunia, baik di tingkat domestik maupun global. Pemimpin harus siap untuk beradaptasi dengan kondisi dan situasi apa pun, termasuk yang terburuk sekalipun.

Jika kita kaitkan dengan meta leader, mereka mampu memanfaatkan situasi VUCA untuk berinovasi dan menghasilkan solusi-solusi kreatif.

Dunia yang VUCA bagi mereka adalah media belajar bagi meta leader. Mereka memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah dengan melihat konteksnya dan memetakan masalah sampai pada kebenaran fundamentalnya.

Berbicara tentang kemampuan problem-solving, ini merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki setiap orang.

Studi dari National Association of College and Employer 2022, sebanyak 86 persen employer akan merekrut orang yang memiliki bukti bahwa dia pernah memecahkan masalah.

Survei dari ILO juga menyebutkan bahwa kemampuan problem-solving menjadi kemampuan yang paling dibutuhkan employer, yakni 62 persen.

Menyatukan berbagai pihak dan kepentingan

Satu dimensi lagi yang menjadi ciri khas dari meta leader adalah kemampuannya untuk bekerja sama dengan berbagai pihak.

Meta leader mampu membangun hubungan baik dengan orang-orang yang terlibat dengannya.

Hubungan yang baik akan membuat kerja menjadi lebih efektif dan efisien serta merasa nyaman untuk bekerja sama.

Meta leader juga bisa berbaur dengan siapapun dan dengan latar belakang apapun. Ini karena keingintahuannya yang tinggi dan keahliannya di berbagai bidang, yang membuat mereka bisa berinteraksi dengan seorang marketer, ahli keuangan, diplomat, dan lain sebagainya.

Mereka bisa mempersatukan orang-orang dari beragam latar belakang dan menjadikannya satu tim yang solid.

Menurut studi yang berjudul Diversity and Inclusion (D&I) Global Market Report 2022, perusahaan yang beragam akan menghasilkan arus kas 2,5 kali lipat lebih banyak per karyawan. Selain itu, produktivitas juga meningkat sebesar 35 persen.

Tim yang inklusif dan memiliki hubungan yang erat juga berpengaruh terhadap produktivitas.

Studi dari RingCentral perusahaan piranti lunak di Amerika Serikat, tahun 2020 menemukan bahwa penyebab 71 persen pekerja merasa produktif adalah karena mereka terhubung dengan koleganya.

Artinya, mereka punya hubungan baik, yang membuat karyawan lebih semangat dalam bekerja. Ini sudah dibuktikan oleh McKinsey pada studinya tahun 2012.

Mereka menemukan, tim yang well-connected akan meningkat produktivitasnya dari 20 persen hingga 25 persen.

Karena kemampuannya mempersatukan banyak pihak, meta leader mampu memimpin secara holistik.

Mereka dapat berkoordinasi dengan baik dengan atasannya, mampu memimpin bawahannya dan memperlakukan mereka dengan humanis.

Meta leader juga dapat mempersatukan orang-orang lintas organisasi. Meta leader adalah seorang well-rounded, dapat memimpin dari segala sisi.

Kemampuan ini tentunya menjadi aset untuk dapat menyelesaikan masalah global. Masalah global saat ini membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak, mulai dari akademisi, universitas, institusi pemerintah, perusahaan, dan organisasi masyarakat.

Setiap pihak pastinya memiliki sudut pandang yang berbeda dalam menyelesaikan masalah. Akan tetapi, meta leader dapat menyatukan mereka dengan menemukan common ground yang diterima semua pihak.

Selain itu, meta leader mengetahui bahwa ada kondisi tertentu yang membuat berbagai pihak ingin bekerja sama.

Richard Hackman ada semacam enabling condition yang berkontribusi meningkatkan kolaborasi antar personel.

Haas & Mortensen (2016) dalam artikelnya yang berjudul The Secret of Great Teamwork menuturkan, ada empat enabling condition yang dapat meningkatkan kerja sama tim, yang saya interpretasikan sesuai konteks artikel.

Pertama, adanya arah yang jelas. Poin ini sebenarnya fundamental bagi siapapun yang terlibat dalam tim karena menunjukkan pentingnya komunikasi.

Pemimpin perlu memberikan instruksi yang jelas kepada timnya agar mereka dapat bekerja. Jika komunikasi tidak berlangsung dengan baik dan jelas, maka kerjasama tim akan berantakan. Masing-masing akan menginterpretasikan instruksi sesuai perspektifnya.

Kedua, punya struktur yang kuat. Struktur yang kuat di sini tidak hanya pemimpin, namun timnya juga seimbang.

Saling melengkapi dan bisa membantu yang lain jika dibutuhkan. Struktur yang kuat berarti juga ada budaya learning transfer antarsesama anggotanya. Struktur yang kuat juga berarti setiap tim punya satu pemahaman akan tujuan.

Ketiga, adanya dukungan sumber daya. Setiap orang memiliki sumber daya yang berbeda. Misalnya jika kita memiliki tim dari Jakarta dan Maluku, mereka punya akses sumber daya yang berbeda.

Jadi, meta leader harus memastikan apakah dalam pembagian tugas, mereka punya akses sumber daya yang dibutuhkan.

Terakhir adalah shared mindset. Dengan tim yang beragam dari segi latar belakang dan tempat tinggal, memiliki pola pikir yang sejalan akan sangat membantu.

Pola pikir bahwa apa yang dikerjakan memiliki dampak bagi banyak orang. Pola pikir jika kita semua bagian penting. Pola pikir seperti ini perlu ditanamkan.

Meta leader memahami ini sebagai cara mereka untuk membangun kerja tim yang solid. Meta leader berusaha membuat iklim kerja yang inklusif, yang membuat semua orang di dalamnya merasa berharga dan bisa mendapatkan banyak pelajaran.

Meta leader mendorong semuanya untuk berkontribusi sesuai dengan kemampuannya. Terlebih, membuat semua orang merasa engage dengan pekerjaannya akan menghasilkan banyak manfaat.

Salah satunya adalah meningkatnya moral dan semangat kerja. Menurut survei Gallup 2022, 41 persen karyawan akan lebih jarang absen jika mereka engage dengan pekerjaannya. Hal ini tentunya menjadi pertanda bahwa mereka semangat dalam bekerja.

Membentuk Meta Leader

Meta leader memiliki banyak keunikan. Kita lihat banyak contoh meta leader yang mampu menciptakan banyak sektor bisnis dan pergerakan di berbagai bidang.

Budi Gunadi Sadikin merupakan contoh lain dari seorang meta leader di Indonesia. Dia tidak memiliki pengalaman dan bahkan latar belakang kesehatan. Jejak kariernya beragam.

Dia adalah lulusan jurusan Fisika Nuklir. Awal mula kariernya berkiprah di sektor teknologi dan bekerja di IBM Asia Pasifik dan Indonesia.

Kemudian, dia merambah ke sektor keuangan, lalu ke sektor peleburan aluminium. Dia juga pernah memimpin Satuan Tugas Pemulihan Ekonomi Nasional.

Rekam jejak yang beragam menjadi aset baginya untuk melaksanakan tugasnya sebagai Menteri Kesehatan.

Retno Marsudi juga termasuk sosok meta leader. Retno adalah seorang diplomat yang mampu menyatukan berbagai kepentingan.

Ketika COVID-19 melanda, Retno mampu mengamankan pasokan vaksin berkat keahlian diplomasinya. Dia membuktikan bahwa urusan diplomasi itu bisa dilakukan oleh siapapun tanpa terkecuali.

Dari cerita singkat berbagai tokoh meta leader, mereka memiliki empat core principle yang harus dimiliki oleh pemimpin masa kini: rasa ingin tahu, rendah hati, dan life-long learner, dan konektor.

Empat sifat prinsip ini yang nantinya akan membuat kita menjadi pemimpin yang lebih baik, pemimpin yang mengayomi, pemimpin yang memiliki pengetahuan luas, dan pemimpin yang inovatif dan kreatif.

Indonesia dan dunia global membutuhkan sosok pemimpin hebat yang mampu menjadi konektor yang dapat menjembatani banyak pihak.

Meta leader akan semakin dibutuhkan untuk menghadapi krisis yang terjadi di dunia ini.

Namun, saya yakin, akan muncul pemimpin hebat yang sensitif terhadap masalah global dan domestik, bergerak untuk menyelesaikannya satu per satu, dan bisa merangkul banyak orang!