Harga LPG Non Subsidi Naik Lagi, Begini Dampaknya

Jakarta: PT Pertamina kembali menaikkan harga Liquefied Petroleum Gas (LPG) non-subsidi. Kenaikan harga ini didorong oleh harga Contract Price Aramco (CPA) yang mencapai US$ 725 permetric ton, harga ini mengalami kenaikan sebanyak 13% dibandingkan tahun 2021. Faktor lainnya adalah Indonesia masih mengimpor LPG yang beredar di masyarakat. Sebanyak 79,9% tabung gas LPG masih diimpor dari negara lain.    
 
“Seluruh penyesuaian harga di angka sekitar Rp2.000 baik per liter untuk BBM dan per kilogram untuk LPG. Harga ini masih sangat kompetitif dibandingkan produk dengan kualitas setara,” ujar Corporate Secretary PT Pertamina Patra, Irto Ginting Pada Minggu, 10 Juli 2022 lalu.  
 
Semenjak tahun 2017, harga LPG belum pernah mengalami kenaikan. Baru diakhir tahun 2021, LPG mengalami kenaikan harga yang semula harga LPG 12kg berkisar di Rp134.700 naik menjadi Rp163.000. Kenaikan harga kemudian kembali terjadi  pada 27 Februari 2021. Harga LPG 5,5kg menjadi Rp88.000 dan LPG 12kg menjadi Rp187.000.





Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Saat ini harga LPG 5,5kg berkisar di antara Rp100.000 – Rp127.000, sedangkan untuk ukuran 12kg, dibandrol dengan harga Rp213.000 – Rp270.000. Rentang harga ini dipengaruhi oleh wilayah Indonesia yang berbeda-beda. Misalnya harga di wilayah Maluku memiliki harga paling tinggi dibandingkan Jawa dan Sumatera.  
 
Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, kenaikan harga LPG non subsidi akan mempengaruhi dua lapisan masyarakat yang berbeda. Masyarajat kelas menengah akan menggunakan uangnya untuk mencukupi kebutuhan hidup, sehingga permbelian produk tersier dan sekunder akan menurun. Sedangkan masyarakat kelas atas memilih untuk menyimpan uangnya, karena kenaikan harga ini menunjukkan tanda-tanda terjadinya inflasi.  
 
Berdasarkan data 30 April 2022, harga penjualan LPG bersubsidi naik hingga 2%. Hal ini dikarenakan terjadinya imigrasi pembelian gas LPG 12kg menjadi LPG 3kg. Mengingat perbedaan harga yang cukup jauh antara subsidi dan non subsidi, masyarakat lebih memilih untuk membeli LPG 3kg karena harganya yang lebih murah.  
 
Padahal LPG 3kg atau yang biasa disebut gas melon memiliki ketentuan tersendiri untuk diperjualbelikan oleh masyarakat. Misalnya dalam Perpres No. 104 Tahun 2007, tertulis bahwa LPG 3kg hanya boleh digunakan oleh penduduk legal dengan rumah tangga kurang mampu, usaha mikro, nelayan dan petani dengan syarat tertentu.  
 
Lalu dijelaskan pula pihak-pihak yang tidak boleh menggunakan LPG 3kg dalam Perpres No.38 Tahun 2019, salah satunya adalah hotel, restoran, binatu, usaha batik, peternakan, petani tembakau, las, dan petani dengan syarat tertentu.
 
Saat ini pemerintah sedang berupaya mengembangkan aplikasi untuk pembelian LPG bersubsidi. Diharapkan dengan adanya aplikasi ini, perindistribusian LPG 3kg akan lebih tepat sasaran karena disesuaikan dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial milik Kementrian Sosial. (Tamara Pramesti Adha Cahyani)
 

(MBM)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.