Jakarta, CNN Indonesia —
Langkah polisi yang mencoba mengendalikan massa suporter dengan tembakan gas air mata di stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu (1/10) berujung maut. Ratusan nyawa melayang di Stadion Kanjuruhan. Data resmi sementara, 131 orang tewas dalam insiden itu, termasuk 33 anak-anak.
Sebanyak 29 orang mengalami luka berat dan 436 orang menderita luka ringan dan sedang.
Bukan kali ini saja Polri bertindak represif. Pada 2019, tindakan represif juga terjadi saat demo di Gedung Bawaslu 21-211 Mei yang memprotes hasil Pemilu. Saat itu sekitar 400 orang ditangkap.
Komnas HAM mencatat ada 9 orang yang tewas dalam demonstrasi yang menentang hasil pemilihan presiden 2019 di Jakarta. Ada satu korban pula yang mati tertembak di Pontianak, Kalimantan Barat, dalam aksi serupa.
Dalam demo itu, empat orang dinyatakan meninggal karena ditembak, satu orang meninggal karena kehabisan nafas karena gas air mata, dan empat orang meninggal tanpa keterangan resmi.
Aksi represif polisi juga terekam pada September 2019 terkait demonstrasi menolak RKUHP dengan tema ‘reformasi dikorupsi’. Kala itu dua mahasiswa dari Universitas Haluoleo Kendari, Randy (21) dan Muh Yusuf Kardawi (19) tewas saat aksi di Kendari, Sulawesi Tenggara.
Di Jakarta sendiri, aksi demo itu mengakibatkan seorang peserta luka parah yaitu Faisal Amir, mahasiswa Universitas Al-Azhar Indonesia dan tiga orang meninggal tanpa keterangan resmi.
Tak sampai di situ, berdasarkan laporan Amnesty International Indonesia, ada 402 orang menjadi korban kekerasan polisi di 15 provinsi selama aksi menolak UU Cipta Kerja atau Omnibus Law pada akhir tahun 2020 lalu. Selain itu juga tercatat ada 6.658 orang yang ditangkap di 21 provinsi.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan aksi represif dalam berbagai insiden itu merupakan gambaran dari sikap aparat yang masih berlaku represif kepada warga dalam beberapa waktu terakhir.
Bambang berpendapat budaya kekerasan dan arogansi di tubuh Korps Bhayangkara memang begitu mengakar ketika berhadapan dengan masyarakat. Hal itulah yang menurutnya justru dapat menimbulkan korban jiwa dari kelompok sipil ketika terjadi bentrok.
“Kultur militeristik dan arogansi itu masih tampak jelas dalam semua penanganan aksi massa,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (4/10) malam.
Dalam peristiwa tragedi Kanjuruhan, ia memandang, potensi adanya korban jiwa dapat diminimalisir apabila Polri mengedepankan langkah yang bersifat preventif dan persuasif.
Sayangnya, kata dia, ‘metode’ yang dipilih oleh aparat hukum untuk mengurai kerumunan justru cenderung tegas dan menggunakan kekerasan. Sehingga, jatuhnya korban jiwa menjadi hal yang tidak terelakkan lagi.
“Fanatisme suporter itu sebuah hal yang lumrah, dan itu bisa dikendalikan dengan pendekatan-pendekatan non kekerasan bila ada rencana pengamanan yang baik,” tuturnya.
Pendapat senada juga disampaikan oleh Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur.
Isnur mencatat pola represif aparat kepada masyarakat sipil tersebut sudah dimulai sejak 2015 lalu, ketika terjadi gelombang penolakan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 78 tentang Pengupahan.
Sikap represif itulah, yang menurutnya kemudian masih dipertahankan bahkan semakin meningkat setiap tahunnya. Jejak digital bukti sikap represif itu, kata dia, juga masih dapat dengan mudah ditemukan di media sosial.
“Ketika aksi penolakan Revisi UU KPK dan KUHP di 2019, 4 ribu orang ditangkap, sangat banyak yang mengalami kekerasan. Pada 2020, waktu penolakan omnibus law juga masih sama, gas air mata, water canon, kemudian pentungan di mana-mana,” jelasnya.
“Sangat jelas bahwa kita melihat aparat keamanan memandang masyarakat seperti orang yang harus dihabisi. Seperti musuh, bukan seperti warga yang harus diayomi, dilindungi, disayangi,” imbuhnya.
Menanti Janji Kapolri soal ‘Potong’ Polisi Bersalah
BACA HALAMAN BERIKUTNYA
Artikel ini bersumber dari www.cnnindonesia.com.