Makassar, CNN Indonesia

Sidang lanjutan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di Paniai Papua kembali berlangsung di PN Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (12/10).

Dalam sidang yang berlangsung kemarin, saksi yang dihadirkan adalah Letnan Dua (Letda) Wardi Hermawan yang saat kejadian kasus HAM Paniai bertugas sebagai Babinsa di Koramil 1705-02/Enarotali.

Pria yang merupakan seorang Babinsa itu saat tragadi Paniai pada 8 Desember 2014 silam bertugas sebagai penjaga rumah dinas Danramil yang di dalamnya ada gudang senjata untuk Koramil 1705-02/Enarotali.

Dia mengatakan Peluru yang ada di koramil beber Wardi tidak ada peluru karet. Namun, peluru yang tersedia di gudang pada saat itu peluru tajam dan hampa.

“Kami tidak ada [peluru] karet, hanya tajam dan hampa,” kata dia di hadapan majelis hakim pengadilan HAM tersebut.

Wardi menyebutkan tempat penyimpanan seluruh senjata dan amunisi tersebut berada di suatu kamar di dalam rumah Danramil. Wardi berkata bahwa yang berhak memerintahkan untuk mengambil senjata api yang berada di gudang itu adalah Danramil.

“Saya bertugas mencatat keluar masuk senjata dan menjaga rumah Danramil,” kata Wardi.

“Gudang senjata tidak seperti di satuan tempur tapi ada di rumah danramil. Dan, saya jaga rumah ketika danramil tidak ada dan saya pegang kunci gudang, kecuali ada danramil saya tidak pegang kuncinya [gudang],” imbuhnya.

 Sementara untuk jenis senjata yang ada di gudang waktu itu ada tiga jenis.

“Jenis senjata yang ada di koramil ada SS1, M16 dan Sten. Kalau jumlah peluru yang dimasukkan ke dalam magasin saya lupa,” katanya.

Wardi mengaku tidak mengetahui peristiwa penganiayaan terhadap belasan anak remaja di pondok natal Gunung Merah yang terjadi pada tanggal 7 Desember 2014 yang memicu protes warga Paniai.

“Tanggal 7, saya tidak tahu. Secara detail kami tidak tahu. Pada tanggal 8 saya ada di koramil untuk ikut apel dan setelah itu ada warga datang lalu terjadi lemparan dari luar ke dalam koramil. Kemudian saya langsung ke belakang untuk melihat istri dan anak saya,” jelasnya.

Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menanyakan kepada saksi terkait apakah ada perintah dari terdakwa Mayor (Purn) Isak Sattu untuk mengambil senjata api ketika warga yang makin beringas dengan melemparkan batu ke dalam koramil.

Wardi mengaku tidak mengetahui adanya perintah dari terdakwa untuk mengambil senjata ketika terjadi lemparan dari warga.

“Saya tidak tahu. Tapi Pak Isak pernah memerintahkan mengambil senjata tapi untuk kegiatan pengamanan ke Madi. Tapi tidak jadi karena massa sudah turun ke Enarotali,” katanya.

Sebelum terjadi kericuhan massa, kata Wardi ada dua anggota koramil yakni Sertu Jusman dan Serma Sugiarto mencoba menghalau warga yang hendak masuk ke halaman koramil.

“Ada dua kali perintah keluarkan senjata dari gudang. Dari Isak Sattu dan Sugiarto. Isak Sattu tidak jadi, waktu itu masih pengecekan kemudian dikembalikan lagi,” ujarnya.

“Waktu massa brutal, anggota spontan langsung masuk ke kamar untuk mengambil senjata. Anggota masuk sendiri di dalam rumah danramil,” sambungnya.

Jumlah senjata api yang ada di koramil sebanyak 14 pucuk. Sementara kata Wardi anggota koramil saat itu hanya 20 orang.

“Waktu itu jumlahnya ada 14 pucuk, kalau personel ada 20 orang. Tidak semua pegang senjata. Seingat saya hanya sisa satu,” bebernya.

Sidang kasus pelanggaran HAM Paniai yang digelar di PN Makassar akan kembali dilanjutkan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi-saksi lain.

(mir/kid)

[Gambas:Video CNN]



Artikel ini bersumber dari www.cnnindonesia.com.