Eksistensi 29 Tahun Berkarya Seni ala Prasidha 93
Menggelar pameran bersama rekan seangkatan menjadi ajang reuni sekaligus wujud eksistensi buat para alumnus. Hal itulah yang dilakukan anggota Prasidha 93, alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Jogja angkatan 1993.
—
TELUR yang digambar perupa Sri Wahyuningsih tidak memiliki bulatan kuning di dalamnya. Yang ada malah seorang bayi menetek pada payudara kiri sang ibunda dan keduanya tertidur pulas.
Cangkang telur itu juga bukan warna cokelat seperti yang kita kerap temui di pasar atau pusat perbelanjaan modern. Cangkangnya terbuat dari lembar uang rupiah. Mulai pecahan Rp 100 ribu, Rp 50 ribu, Rp 20 ribu, hingga Rp 5 ribu.
Lukisan berjudul Sang Pertapa itu menjadi salah satu karya Sri Wahyuningsih yang dipamerkan di Galeri R.J. Katamsi, ISI Jogja, pada Rabu (12/10) lalu. Bertajuk Self-Portrait, 29 perupa Prasidha 93 memamerkan karya-karya mereka pada 8–18 Oktober.
Selain Sri Wahyuningsih, ada nama perupa lain seperti I Nyoman Masriadi, Jumaldi Alfi, dan Mikke Susanto yang berpartisipasi. Pameran tersebut sekaligus merupakan peringatan 125 tahun R.J. Katamsi, direktur ASRI (nama lama ISI Jogja) pertama.
Kepada Jawa Pos Radar Jogja, Wahyuningsih menyatakan bahwa Sang Pertapa adalah potret kiwari soal keberadaan kapital yang memang sangat membantu si pemilik. Sang Pertapa sekaligus menjadi penjelasan bagaimana uang memberikan keleluasaan mereka yang mempunyainya.
’’Ketika kita punya banyak uang, kita relatif lebih bisa mendapatkan perlindungan. Misalnya, anak bisa (dapat) imunisasi terbaik, bisa beli makanan kualitas terbaik, dan berbagai macam jenis yang disukai. Perlindungan kapital memang relatif lebih bisa dijangkau ketika kita punya,’’ papar Wahyuningsih.
Namun, di sisi lain, perlindungan kapital atau uang itu bukan ’’tameng’’ terkuat seperti yang digambarkan Wahyuningsih. ’’Dia tetap rapuh (karena) sifatnya sebagaimana cangkang telur yang mudah pecah,’’ lanjut Wahyuningsih.
Perupa lain Mikke Susanto berkata, tema Self-Portrait dimaknai tidak melulu mengenai potret wajah. ’’Sebagian anggotanya justru terkesan ’memberontak’ dan keluar dari arus utama. Kemudian, justru dari situ, terungkap ada pernyataan sikap yang dimunculkan,’’ kata Mikke.
Mikke melanjutkan pemaknaan potret diri setiap anggota berbeda dan hal itu sah-sah saja. Pameran itu justru hidup dengan pemaknaan yang beragam dan tidak terkungkung dalam batasan pemaknaan akademik semata.
Nah, Mikke dalam Self-Portrait menyuguhkan instalasi Recto Verso. Yakni, dua buku tebal yang ditulis selama dua dekade. Keduanya dililit rantai dan digembok. Buku pertama berjudul Curatography ditulis berdasar kerja kuratorial sejak 1999. Sementara itu, buku kedua berjudul Bung Karno: Kolektor & Patron Seni Rupa Indonesia adalah kerja risetnya dengan waktu pengerjaan sekitar lima tahun.
’’Jadi, karena itu, dua buku ini menjadi bagian hidup saya selama dua dekade terkini. Keduanya meriwayatkan kerja saya sekaligus kerja riset tentang Sukarno. Sukarno sebagai topik utama yang kerap kukerjakan, baik untuk kuratorial maupun riset nonkuratorial,’’ jelas Mikke. ’’Itu sebabnya, keduanya saya rantai karena mengikat hidupku,’’ tambah pria yang juga jadi kurator seni istana kepresidenan RI itu.
Karya Mikke yang kedua adalah sebuah lukisan wajah pelukis Nasirun. Lukisan itu sudah 99 persen selesai. Namun, entah mengapa oleh Mikke tak kunjung terselesaikan. Kemudian, pada akhirnya karya itu diberi jejak oleh Nasirun sendiri. Yakni, lelehan cat merah di dahinya. ’’Jadi, lukisan tersebut berkisah tentang kedekatan saya dengan pelukis Nasirun,’’ ujar Mikke.
Pada lukisan itu, ada dua kanvas yang disatukan. Ada sisi kosong atau flat. Dan sisi penuh dengan goresan. Lukisan itu merupakan upaya melukis sensibilitas sebuah hubungan. Warna merah pada sisi yang kosong tidak diartikan sebagai sebuah permusuhan. ’’Merah ibarat kerja berdarah-darah membangun atmosfer kesenirupaan di sisi yang berbeda. Saya sebagai penulis, Nasirun sebagai pelukis,’’ ucap Mikke.
Sementara itu, Jumaldi Alfi menghadirkan 11 lukisan bertajuk How to See and Look the Painting. Tema besar lukisannya senada. Yakni, seorang laki-laki yang dilukis dari belakang. Namun, warna dan ornamen yang menyertai setiap lukisannya berbeda.
’’Sebetulnya itu potretku. Biasanya lukisan potret menghadap ke depan, nah ini (hadap) ke belakang. Tentang introspeksi, peruntungan terhadap pencapaian-pencapaian,’’ kata Alfi.
Alfi menyatakan, dalam dua tahun belakangan ini, dia berupaya memaknai cara berpikir dalam berkarya seni lukis. Disadari atau tidak, menurut dia, bahasa lukisan sebagai pernyataan sikap sangat dipengaruhi kulturnya sebagai orang Minang. ’’Orang Minang melihat seni, terutama seni visual, sebagai sebuah pamenan atau permainan belaka,’’ terang Alfi.
Dalam sejarah kebudayaan Minang, seni rupa memang tidak terlalu mendapatkan tempat. Berbeda dengan seni pertunjukan yang sifatnya lisan atau bertutur. Profesi seorang perupa adalah hal baru bagi masyarakat Minang. Orang Minang suka menggunakan metafora atau kiasan ketika menyampaikan pemikiran. Dan, kekayaan metafora itu lebih banyak diekspos dalam ranah budaya teks, bukan visual.
’’Entahlah, apakah ini ada kaitannya dengan keyakinan masyarakat Minang yang mayoritas sebagai penganut Islam? Yang konon diharamkan menggambar atau melukis makhluk hidup. Sehingga kebudayaan visual tak terlalu mendapat tempat khusus dalam kebudayaan sehari-hari masyarakat Minangkabau,’’ jelas Alfi.
Artikel ini bersumber dari www.jawapos.com.