Apakah benar generasi sandwich bisa punya rumah impian? Ternyata jawabannya ada pada pintar tidaknya ia mengatur keuangannya!
“Pain is inevitable. Suffering is optional.”
Kata-kata bijak Buddha di atas dipopulerkan oleh Haruki Murakami dalam buku What I Talk About When I Talk About Running.
Dalam bukunya, penulis asal Jepang ini membagikan kisahnya saat berlari di berbagai perlombaan maraton dan “penderitaan” yang ia rasakan ketika melakukannya.
Dari pengalaman tersebut, Murakami menyebutkan bahwa “rasa sakit” yang dialami ketika berlari adalah realita yang tidak bisa dihindari.
Namun, pelari itu sendirilah yang menentukan apakah penderitaan tersebut akan membuatnya berhenti berlari atau tidak.
Bak pelari maraton, kutipan tersebut juga bisa menjadi mantra bagi mereka para sandwich generation.
Situasi sandwich generation memang terkadang tidak bisa dihindari, tetapi cara seseorang bergelut dengan situasi itu ada di tangan masing-masing.
Diapit oleh rasa ingin berbakti, tetapi masih ingin mewujudkan mimpi, para sandwich generation harus bisa memutar otak dan cerdik dalam mengatur keuangan.
Apalagi jika mimpi tersebut adalah memiliki rumah, mereka harus memiliki komitmen yang tinggi mengingat upaya ini akan berlangsung dalam waktu yang tidak sebentar.
Meski terasa sulit, rupanya di luar sana tak sedikit orang-orang yang berhasil memutus rantai sandwich generation dan membeli rumah idaman mereka.
Salah satunya adalah Fikry Ardiansyah, seorang pegawai swasta berumur 30 tahun yang tinggal di Bandung bersama keluarganya.
Perjalanan Hidup
Sehari-harinya, Fikri menjalani kehidupan sebagai seorang pegawai di jam kerja pada umumnya dan freelance sebagai business dan digital consultant pada malam harinya.
Selain itu, ia juga mengurus bisnis yang ia kembangkan sendiri untuk menambah pemasukan.
Di akhir pekan, ia memilih untuk menghabiskan waktu bersama keluarga, mengunjungi rumah orang tua hingga melibatkan diri dalam kegiatan rukun tetangga sebagai seorang “bapak-bapak komplek”.
Namun, untuk sampai ke titik kehidupan seperti sekarang, bisa dibilang semua asam garam kehidupan mungkin sudah pernah ia cicipi.
Ayah Fikri adalah seorang pensiunan PNS dan ibunya merupakan seorang arsitek. Namun, karena satu kejadian di mana Fikri dan keluarganya harus menanggung kerugian cukup besar di tahun 2009, ibu Fikri memutuskan untuk menjadi seorang wiraswasta sampai sekarang, dari berjualan makanan hingga memiliki usaha laundry sendiri. Bisa dibilang, inilah yang membuat Fikri menjadi salah satu tulang punggung keluarganya.
Resign dari Bank untuk Kejar Cita-Cita
Fikri mengawali kariernya dengan bekerja di sebuah tim creative untuk sebuah stasiun TV, kemudian pindah haluan untuk bekerja sebagai customer service di sebuah bank.
“Most of experience lebih banyak kerja di tech company, lulus kuliah mengawali karier sebagai creative team di stasiun televisi tepatnya di Trans 7 untuk program seperti Asal (Asli Apa Palsu) dan Dunia Lain, setelah satu tahun memutuskan untuk kembali ke Bandung dan banting setir dalam hal karier menjadi customer service di Bank BCA selama 2 tahun,” ungkapnya kepada tim Berita 99.co Indonesia (29/07/2021).
Ingin bisa mengubah nasib, ia pun memutuskan untuk mendaftar kuliah S2 di SBM ITB sambil tetap bekerja di tahun 2017 dan kemudian diterima.
Harapan setelah lulus, Fikri ingin mencari pekerjaan yang lebih stabil dan mendapatkan kesempatan untuk menjadi seorang profesional di sebuah bidang.
Saat itu, ia pun dihadapkan oleh dilema untuk keluar dari pekerjaannya karena ia merasa arah kariernya tidak jelas mau dibawa ke mana.
Pada akhirnya, ia tetap memutuskan untuk resign meski keputusan tersebut ditentang oleh orang tuanya yang merasa kondisi finansial mereka sedang tidak sehat untuk membantu anaknya.
Berjudi dengan Nasib: Modal Nekat Ganti Karier
Berbekal modal pengalaman bekerja di bank swasta ternama, ternyata proses mencari pekerjaan baru pria kelahiran 15 Desember 1991 ini tidak semulus yang diharapkan.
“Saat itu saya cukup yakin bahwa dari BCA tidak akan sulit untuk mencari pekerjaan baru karena brand perusahaan tersebut cukup besar di Indonesia. Namun kenyataannya berbeda, saat itu sulit sekali untuk banting setir dari industri perbankan ke industri lainnya, beberapa pekerjaan yang saya lamar ujungnya hanya perbankan yang memanggil,” beber Fikri.
Memahami bahwa 2017 adalah tahunnya startup berjaya, Fikri memutuskan untuk banting setir kariernya menjadi seorang developer.
Banyak hal yang harus ia korbankan untuk bisa menggapai tujuan baru dalam hidupnya tersebut, mulai dari mengeluarkan modal yang cukup besar hingga waktu yang tak sedikit.
“Karena skill programming gak punya, saya memutuskan untuk kursus programming di salah satu coding school di BSD Tangerang, kebetulan ada jaminan masuk tech company jika selesai kursus di sana selama 6 bulan. Biayanya cukup besar, sekitar 20 juta per 6 bulan, dan saat itu saya modal nekat dengan sisa uang bonus tahunan yang saya dapatkan dari BCA. Saya mendaftar kursus itu, pulang pergi setiap hari Jumat, Sabtu, dan Minggu menggunakan travel, berangkat pukul 5 subuh dari Bandung dan pulang pukul 7 malam dari Tangerang selama 6 bulan. Sisa bonus yang saya dapatkan, saya gunakan untuk kuliah S2 selama 3 semester,” jelas Fikri.
Pada akhirnya, di titik kariernya saat itu, Fikri berhasil mendapatkan pengalaman pertamanya magang di Gojek, tetapi bukan sebagai developer, melainkan di posisi digital marketing.
Beban Hidup sebagai Sandwich Generation
Berbicara tentang generasi sandwich, salah satu hal yang paling diasosiasikan dengan kehidupan mereka tentunya adalah beban yang mereka tanggung.
Sebagai tulang punggung dari “keluarga besar” yang ia tanggung, Fikri adalah satu-satunya orang yang mengatur semua keuangannya.
Fikri mengungkapkan, untuk kebutuhan hidup keluarga, ia memberi uang bulanan belanja sebesar Rp6 juta kepada istri untuk kebutuhan rumah dan menganggarkan uang jajan ketika makan di luar.
Hal tersebut dilakukan supaya anggaran kebutuhan rumah, seperti membayar listrik, iuran warga, serta membayar cicilan kendaraan dan rumah tidak terganggu.
“Lalu, saya juga mengalokasikan cicilan untuk hobi, tabungan pendidikan anak yang saya persiapkan baru untuk 5 tahun ke depan, dan anggaran dana darurat yang selalu saya sisihkan 1 juta rupiah setiap bulan ke rekening tertentu,” tutur dia.
Selain itu, tentu ia pun mesti memenuhi kebutuhan biaya hidup beberapa keluarga sekaligus.
Biaya tersebut meliputi banyak hal, mulai dari cicilan mobil hingga kebutuhan hidup adiknya yang sudah memiliki istri serta anak, tetapi belum memiliki pekerjaan.
“Untuk orang tua, saya membantu mereka dalam membayar cicilan mobil ibu saya, membayar 50 persen cicilan bulanan kredit usaha kedua orang tua saya melalui jaminan sertifikat rumah, dan terkadang saya membantu adik saya yang belum memiliki pekerjaan yang stabil namun sudah menanggung istri dan anaknya,” ungkapnya.
Terkadang, lanjut Fikri, ia juga membantu kebutuhan rumah mertua jika di saat tertentu mereka kekurangan serta utang kakak iparnya sebanyak dua kali akibat terjerat pinjol.
Adapun Fikri menjelaskan bahwa untuk kasus mertua dan kakak ipar ini tidak terjadi setiap bulan, hanya di waktu tertentu saja.
Duka sebagai Sandwich Generation
Duka adalah hal yang tak terpisahkan ketika kita membahas kehidupan seorang generasi sandwich.
Menjadi salah satu dari banyak orang yang terjebak di situasi ini, Fikri pun turut membagikan duka-duka yang ia alami sepanjang hidupnya.
Salah satu pengalaman paling pahit dalam hidupnya adalah ketika ia tidak bisa membeli susu untuk bayinya yang berstatus BBLR (berat badan lahir rendah) dan menggantinya dengan air tawar.
“Kejadian paling sedih yang saya alami adalah hingga tidak bisa membeli susu untuk anak saya dan menggantinya dengan air biasa, di saat anak pertama tidak bisa hanya ditopang oleh ASI karena status kelahirannya BBLR,” ungkapnya.
Adapun titik terendah dalam hidupnya terjadi saat ia belum memiliki pekerjaan sampingan.
Pasalnya, orang tua Fikri berharap pada anak pertamanya yang sudah bekerja untuk membantu mereka membayar utang.
Terlebih, saat itu tempat Fikri bekerja tidak memberikan fasilitas asuransi kesehatan yang tentunya menambah beban pikirannya saat itu.
“Di pekerjaan-pekerjaan sebelumnya, saya tidak memiliki asuransi dan saya tidak memiliki pekerjaan sampingan sehingga saat itu menjadi titik terberat dalam hidup saya. Di saat bersamaan, orang tua meminta tolong kepada saya sebagai anak pertama yang sudah bekerja untuk membantu mereka lepas dari ancaman debt collector,” jelasnya.
Melihat bagaimana orang tuanya gagal dalam urusan perencanaan finansial, Fikri pernah menyalahkan orang tuanya karena selalu bertindak tanpa pertimbangan dalam urusan finansial.
Namun setelah beberapa tahun lamanya, Fikri akhirnya tersadar bahwa apa yang orang tuanya lakukan adalah semata-mata untuk membuat keluarga bisa bertahan hidup dan memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya.
Meskipun pada akhirnya anaknyalah yang harus menanggung beban, Fikri pun akhirnya bisa berdamai dengan hal tersebut dan mencoba memahami keputusan orang tuanya.
Berangkat dari hal tersebut, Fikri kemudian membeberkan bagaimana ia bisa terus menjalani kehidupan sebagai seorang generasi sandwich.
Ia mengungkapkan, “Kunci untuk menjalani sandwich generation ini berdasarkan pengalaman saya ada di mental. Memperbesar pemasukan, menghitung rinci sekecil apa pun setiap pengeluaran, menganggarkan setiap pos pengeluaran bulanan hingga satu tahun ke depan, dan banyak berolahraga karena pekerjaan yang diambil sangat banyak, maka konsentrasi dan jasmani menjadi kunci agar tidak tumbang menjalani cukup banyak pekerjaan.”
Perjuangan Membeli Rumah
Sebelum membeli rumah, Fikri sempat tinggal selama 1 tahun lebih di rumah mertuanya.
Ia pun akhirnya memutuskan untuk mengontrak karena pada saat ia sudah berhasil melunasi beberapa utangnya dan memiliki 8 pekerjaan yang dirasa menjadi safety net yang cukup.
Selang beberapa waktu, pemilik kontrakan tersebut ternyata menawarkan kontrakannya untuk dibeli dengan harga “miring” karena ia mengalami masalah ekonomi akibat pandemi.
Berbekal 8 pemasukan dan status sebagai karyawan tetap, Fikri bersegera mengurusi kebutuhan yang diperlukan untuk membeli rumah kontrakan tersebut ke bank.
Namun rupanya, proses membeli rumah second cukup sulit dan rumit untuk dilakukan.
“Saya harus mempersiapkan uang muka yang cukup besar saat itu. Saya pulang dan mengabari pemilik rumah bahwa kami sudah mendapatkan informasi dari bank, kami akan mencoba meskipun syaratnya cukup rumit, di saat yang bersamaan saya pun merasa kasihan dengan kondisi yang mereka alami karena saya pernah berada di kondisi tersebut. Kami melengkapi dokumen sambil berpikir ‘kayaknya susah sih punya rumah sekarang, ribet gini’”, bebernya.
Melihat prosesnya yang cukup ribet, Fikri pun tidak langsung memutuskan untuk memproses pembelian rumah tersebut.
Berangkat dari keisengan belaka, Fikri dan keluarga pun mencoba untuk melihat rumah contoh di sekitar rumah kontrakan di akhir pekan.
Kepada sales yang bertugas, ia menanyakan bagaimana proses membeli rumah baru tersebut dan cukup kaget dengan jawaban yang ia dengar.
Dibandingkan dengan rumah second, Fikri menilai proses membeli rumah baru lebih mudah.
“Kami cukup kaget karena kami tidak diharuskan membayar DP, cicilan bulanan yang cukup ringan, proses yang lebih cepat, dan hanya butuh waktu 1 minggu dari dokumen persyaratan yang sudah lengkap” tutur Fikri.
Lalu, tambah dia, harganya pun relatif tidak berbeda jauh dengan rumah second yang ditawarkan pemilik rumah tempat ia mengontrak dengan kondisi bangunan yang sudah cukup rusak.
Berkat pertimbangan tersebut, Fikri akhirnya memutuskan untuk mengajukan pembelian rumah baru tersebut.
Tantangan Membeli Rumah sebagai Generasi Sandwich
Di balik kesuksesan Fikri membeli rumah dalam kondisi membiayai banyak keluarga, tentu ada perencanaan matang dalam pengaturan keuangan.
Namun sebelum masuk ke pembahasannya, Fikri menggarisbawahi beberapa tantangan yang harus dihadapi seorang generasi sandwich dalam mengatur finansial mereka.
1. Mengatur Emosi atas Keuangan
Tantangan pertama adalah mengatur emosi diri sendiri saat mengatur neraca keuangan.
Ada kalanya Fikri tergoda menambah cicilan untuk memuaskan hati dengan membeli barang-barang yang bisa menyenangkan diri sendiri.
Namun jika sudah memiliki komitmen untuk membeli rumah, Fikri menekankan bahwa disiplin finansial adalah hal yang paling penting untuk selalu dijaga.
Kunci menghadapi situasi ini adalah untuk terus menjaga agar setiap pengeluaran sesuai dengan pos yang sudah direncanakan sedari awal.
2. Menjaga Fisik
Selain dari segi keuangan, Fikri juga mengungkapkan betapa pentingnya kesehatan fisik seseorang.
Pasalnya, agar bisa terus memberikan performa terbaik untuk setiap pekerjaan, fisik yang terawat akan membuat seseorang dapat terus berkonsentrasi sehingga pekerjaan yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik.
3. Mengedukasi Orang Tua dan Adik agar Lebih Sadar Finansial
Tantangan terakhir menurut Fikri, adalah bagaimana membuat orang tua dan adiknya agar lebih sadar tentang finansial.
“Hal paling berat adalah jika orang yang masih harus kami biayai ini tidak sadar akan kondisi finansial mereka dan melakukan kesalahan yang sama terus menerus tapi selalu mengharapkan pertolongan dari mereka yang bekerja keras,” ungkap Fikri.
Trik Mengatur Finansial
Kemudian, Fikri pun membeberkan cara mengatur finansial bagi seorang generasi sandwich agar bisa membeli rumah.
1. Memperbesar Pemasukan dan Mengatur Pos Keuangan
Hal pertama yang dilakukan Fikri adalah menerima kenyataan bahwa ia adalah seorang generasi sandwich dan mengatur pos-pos keuangan untuk keluarga sendiri dan orang tua.
Adapun, Fikri kembali menekankan pentingnya memberikan edukasi kepada orang tua mengenai cara mengatur keuangan agar perencanaan yang sudah dilakukan bisa dieksekusi sesuai dengan harapan.
“Mengedukasi orang-orang yang terlibat dalam membuat Anda menjadi sandwich generation sehingga secara pikiran Anda cukup sehat untuk mengatur keuangan, disiplin dalam menyimpan uang berapa pun jumlahnya. Memutus mata rantai sandwich generation menurut saya adalah penerimaan mereka atas kondisi yang terjadi dan bertindak lebih agar kelak Anda tidak mewariskan ini kepada anak Anda,” jelas Fikri.
2. Mencatat Pengeluaran
Kemudian, hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah membuat dokumentasi keuangan di sheets/Excel untuk menghitung pos pemasukan dan pengeluaran setiap bulannya.
Tak berhenti di situ, Fikri juga menyebutkan bahwa perencanaan tersebut sebaiknya dilakukan untuk satu tahun ke depan.
Hal tersebut dilakukan agar ia tahu kapan harus memperbesar pemasukan dan membuang pengeluaran kecil yang dirasa tidak perlu.
“Intinya ada pada planning keuangan yang harus Anda rencanakan setiap bulannya. Jika dirasa pengeluaran Anda lebih besar dari pemasukan saat ini, tambah sumber pemasukan Anda dari mana pun,” lanjutnya.
Trik Menambah Penghasilan
Selanjutnya, Fikri juga membagikan cara bagaimana ia bisa menambah penghasilannya.
Di sini, ia menekankan pentingnya mempelajari skill-skill tambahan yang berguna untuk mengembangkan diri.
Hal ini bisa dimulai dengan berinvestasi Rp500 ribu setiap bulannya.
Dengan memiliki kemampuan tambahan tersebut, peluang menambah pemasukan lain selain dari pemasukan utama akan semakin besar.
Fikri pun menambahkan, “investasi besar yang bisa Anda atur dan kontrol adalah investasi pada diri sendiri.”
Pasti Ada Jalan
Belajar dari pengalaman Fikri, rupanya membeli rumah sebagai generasi sandwich masih mungkin tetapi tak cukup hanya dengan menabung saja.
Diperlukan banyak kesiapan meliputi mental dan fisik untuk bisa menggapai impian memiliki rumah untuk bisa dihuni bersama keluarga.
Selain itu penting sekali untuk bisa melihat peluang, seperti Fikri yang memahami tren karier pada saat itu.
Tak lupa, berinvestasi kemampuan dengan mengikuti kelas untuk mengembangkan diri adalah faktor penting lainnya yang bisa membantu Fikri terus menyeimbangkan neraca pengeluaran dan pemasukan dengan gaya hidup keluarga.
“Pain is inevitable. Suffering is optional.”
Hidup Fikri memang dipenuhi dengan berbagai macam kepedihan.
Alih-alih bersedih dan mengutuk nasib, ia justru menerimanya dengan tangan terbuka.
Badai terus menerpa, tetapi ia terus menari bersamanya.
***
Baca informasi menarik dan terbaru di Google News Berita 99.co Indonesia.
Kunjungi www.99.co/id dan rumah123.com untuk menemukan hunian impianmu dari sekarang.
Dapatkan kemudahan untuk memenuhi kebutuhan properti, karena kami selalu #AdaBuatKamu.
Penulis Utama: Mukhammad Iqbal
Editor: Elmi Rahmatika F. A.
Penanggung Jawab: Elmi Rahmatika F. A.
Ketua Pelaksana: Alya Zulfikar
Tim Penulis:
Artikel ini merupakan rangkaian liputan khusus Tim Berita 99.co Indonesia yang termuat dalam 99 Property Magazine Edisi 05: Memiliki Rumah bagi Generasi Sandwich: Impian yang Terimpit Realita
Artikel ini bersumber dari www.99.co.